Peta indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi lampiran Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempunaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dinilai masih lemah.
Pasalnya, dari peta indikatif, khususnya di Pulau Sumatera, relatif hanya kawasan konservasi saja yang dimoratorium. Adapun kawasan lainnya di luar taman nasional, seperti hutan produksi, masih bisa dikonversi menjadi areal peruntukan lainnya. Padahal, sejak dulu, taman nasional memang sudah diproteksi.
Manager Informasi Komunikasi dan Pembelajaran Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudy Syaf menyatakan hal itu kepada Kompas di sela-sela Lokakarya Nasional Pemanfaatan dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat pada Berbagai Program REDD+ di Indonesia, Selasa (24/5/2011) di Jakarta.
"Jadi, kalau pemberian izin baru taman nasional ditunda, memang itu sejak dari dulu. Tanpa adanya Instruksi Presiden tersebut pun tidak akan ada izin di kawasan taman nasional," tandas Rudy.
Rudy mencontohkan, untuk kawasan Provinsi Jambi, ternyata pemberian izin baru yang ditunda hanya untuk empat taman nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Bukit 12, dan Taman Nasional Berbak.
Sejauh ini, luas areal Taman Nasional Kerinci Seblat tercatat 400.000 hektar, Bukit 30 33.000 hektar, Bukit 12 dengan 62.000 hektar, dan Berbak 120.000 hektar.
"Dengan ini, berarti dari total lahan seluas 1,2 juta hektar hutan produksi di Jambi, sebanyak 600.000 hektar belum dikelola perusahaan dan masih dimungkinkan untuk dimoratorium," tambahnya.
Menurut Rudy, apa yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat lebih lucu lagi. "Entah karena lupa atau apa, Taman Nasional-nya di Kerinci Seblat justru tidak dimoratorium," ungkapnya.
Hutan desa
Dalam lokakarya, Staf Khusus Menteri Kehutanan San Afri Awang menyatakan bahwa sebaiknya sebagian dari 30 juta dollar dana REDD+ yang diberikan Pemerintah Norwegia diusahakan agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang telah mengelola hutan desa.
"Daripada diserahkan ke United Nation REDD+ (badan dunia yang mengelola REDD+) dan dipotong 17 persen, kan sebaiknya ditangani sendiri dan didorong untuk masyarakat yang tinggal di hutan dan di sekitar hutan," ujarnya.
Menurut San Afri Awang, masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan, termasuk menerima kompensasi karena ikut mengelola hutan. "Harusnya ada sekian persen untuk ekonomi rakyat, untuk mereka yang telah menjaga dan mengembangkan hutan, seperti hutan desa," lanjutnya.
San Afri Awang mengakui, Pemerintah Norwegia yang telah menandatangani Letter of Intent REDD+ tidak percaya dengan lembaga keuangan di Indonesia. Oleh sebab itu, tahapan pengucuran dana dilaksanakan melalui UN REDD+ sebelum terbentuk trust fund untuk REDD+.
sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar